Rabu, 02 Januari 2008

SELAMAT DATANG DI HUTAN KU


berikut ini saya akan menyajikan berbagai data tentang satwa khas indonesia yang terancam keberadaannya yang disebabkan prilaku manusia yang tidak bertanggung jawab.

Orang utan


Orang utan (atau Orangutan) adalah sejenis kera besar dengan lengan panjang dan berbulu kemerahan, kadang cokelat, yang hidup di Indonesia dan Malaysia

Deskripsi


Deskripsi
Istilah orang utan diambil dari bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan.
Mereka memiliki tubuh yang gemuk dan besar, berleher besar, lengan yang panjang dan kuat, kaki yang pendek dan tertunduk, dan tidak mempunyai ekor.
Orang utan berukuran 1-1,4 m untuk jantan, yaitu kira-kira 2/3 kali ukuran seekor gorila.
Tubuh orang utan diselimuti rambut merah kecoklatan. Mereka mempunyai kepala yang besar dengan posisi mulut yang tinggi.
Orang utan jantan memiliki pelipis yang gemuk. Mereka mempunyai indera yang sama seperti manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan peraba.
Telapak tangan mereka mempunyai 4 jari-jari panjang ditambah 1 ibu jari. Telapak kaki mereka juga memiliki susunan jari-jemari yang sangat mirip dengan manusia.

Orang utan termasuk hewan vertebrata, yang berarti bahwa mereka memiliki tulang belakang. Orang utan juga termasuk hewan mamalia dan primata.
Orang utan saat ini merupakan binatang langka, karena manusia terus-menerus merusak habitat mereka dan seringkali pula menjual bayi-bayi mereka secara ilegal untuk dijadikan hewan peliharaan. Diperkirakan populasi orang utan di seluruh dunia baru-baru ini hanya berjumlah 100.000 ekor. Saat ini telah dikembangkan suaka margasatwa untuk melestarikan populasi mereka di Indonesia dan Malaysia

Lokasi dan habitat
Orang utan ditemukan di wilayah hutan hujan tropis Asia Tenggara, yaitu di pulau Borneo dan Sumatra di wilayah bagian negara Indonesia dan Malaysia. Mereka biasa tinggal di pepohonan lebat dan membuat sarangnya dari dedaunan.
Orangutan Sumatera (Pongo abelii lesson) merupakan salah satu hewan endemis yang hanya ada di Sumatera. Keberadaan hewan mamalia ini dilindungi Undang-Undang 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di Sumatera, salah satu populasi orangutan terdapat di daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru Sumatera Utara. Populasi orangutan di DAS Batang Toru 380 ekor dengan kepadatan pupulasi sekitar 0,47 sampai 0,82 ekor per kilometer persegi. Populasi orangutan Sumatera (Pongo abelii lesson) kini diperkirakan 7.500 ekor. Padahal pada era 1990 an, diperkirakan 200.000 ekor. Populasi mereka terdapat di 13 daerah terpisah secara geografis. Kondisi ini menyebabkan kelangsungan hidup mereka semakin terancam punah.

Makanan
Meskipun orang utan termasuk hewan omnivora, sebagian besar dari mereka hanya memakan tumbuhan. Makanan kesukaan orang utan adalah buah-buahan. Makanan lainnya a.l.:
Daun-daunan
Biji-bijian
Kulit kayu
Tunas tanaman (yang lunak)
Bunga-bungaan
Selain itu mereka juga memakan serangga dan hewan-hewan kecil lainnya (seperti burung dan mamalia kecil).
Orang utan bahkan tidak perlu meninggalkan pohon mereka jika ingin minum. Mereka biasanya meminum air yang telah terkumpul di lubang-lubang di antara cabang pohon

Cara melindungi diri




Orang utan termasuk makhluk pemalu. Mereka jarang memperlihatkan dirinya kepada orang atau makhluk lain yang tak dikenalnya.

Perkembang biakan

Orang utan betina biasanya melahirkan pada usia 7-10 tahun dengan lama kandungan berkisar antara 8,5 hingga 9 bulan; hampir sama dengan manusia. Jumlah bayi yang dilahirkan seorang betina biasanya hanya satu. Bayi orang utan dapat hidup mandiri pada usia 6-7 tahun

Cara bergerak


Orang utan dapat bergerak cepat dari pohon ke pohon dengan cara berayun pada cabang-cabang pohon, atau yang biasa dipanggil brachiating. Mereka juga dapat berjalan dengan kedua kakinya, namun jarang sekali ditemukan. Orang utan tidak dapat berenang.

Beberapa fakta menarik
Orang utan dapat memegang benda dengan tangan atau kakinya.
Orang utan jantan terbesar memiliki rentangan lengan (panjang dari satu ujung tangan ke ujung tangan yang lain apabila kedua tangan direntangkan) mencapai 2.3 m.
Orang utan jantan dapat membuat panggilan jarak jauh yang dapat didengar dalam radius 1 km. Digunakan untuk menandai/mengawasi arealnya, memanggil sang betina, mencegah orang utan jantan lainnya yang mengganggu. Mereka mempunyai kantung tenggorokan yang besar yang membuat mereka mampu melakukannya.
Setiap petang, mereka membuat sarang di atas pohon.

Orang Utan Menghadapi Kepunahaan


Sebuah masa gawat sedang dihadapi orang utan. Kelangsungan hidup orang utan belum pernah terancam seperti sekarang ini. Krisis ekonomi tergabung dengan bencana-bencana alam dan kesalahgunaan hutan rimba oleh manusia berarti bahwa orang utan sekarang terancam punah. Selama 20 puluh tahun belakangan ini kira-kira 80% hutan tempat orang utan tinggal sudah hilang. Pada waktu kebakaran hutan tahun 97-98 kurang lebih sepertiga dari jumlah orang utan liar dikorbankan juga. Tinggal kira-kira 12.000 sampai 15.000 ekor orang utan di pulau Borneo (dibandingkan dengan 20.000 pada tahun 1996), dan kira-kira 4.000 sampai 6.000 di Sumatra (dibandingkan dengan 10.000 pada tahun 1996). Menurut taksiran para ahli, orang utan liar bisa menjadi punah dalam jangka waktu sepuluh tahun lagi.

Ancaman terhadap kelangsungan hidup orang utan cukup banyak, dan sulit diatasi.

Ancaman ini termasuk:
Kehilangan hutan tempat tinggalnya
Pemburuan tak sah
Perdagangan orang utan sebagai binatang peliharaan

Dulu, orang utan terdapat di wilayah seluas beribu-ribu kilometer di hutan rimba Asia Tenggara. Dewasa ini orang hutan hanya tinggal di pulau Borneo dan Sumatra. Tempat tinggalnya indah, hutan rimba yang hijau, dan didiami bersama-sama dengan binatang-binatang lain yang terancam punah juga, misalnya harimau dan badak. Hutan rimba ini dilalui oleh banyak sungai yang besar dan di sana terdapat sejumlah jenis pohon, burung dan binatang yang melebihi jumlah yang terdapat di kebanyakan tempat lain, bahkan hampir di seluruh dunia. Harta benda hutan rimba ini sulit sekali ditaksir karena sebegitu mulia dan sebegitu banyak. Banyak jenis tanaman dan binatang yang belum kita ketahui terdapat di sini.

Sekarang, bahkan di kedua pulau itu (Sumatra dan Borneo), tempat tinggal orang utan terancam pula. Kehilangan hutan ini adalah akibat dari tekanan ekonomik, kerakusan dan ketidaktahuan manusia, dan bencana-bencana alam. Jumlah penduduk Republik Indonesia telah bertambah dari 10 juta orang pada permulaan abad ke 20 sampai lebih dari 200 juta orang sekarang. Kebutuhan sebegitu banyak orang, dengan tanah yang terbatas, sangat mendesak sehingga tidak banyak waktu yang bisa digunakan untuk memperlindungi dan merawat kesehatan lingkungan alam. Baik orang maupun orang utan memerlukan tanah yang sama dan, dalam pertentangan antara manusia dan orang utan itu, orang utan yang kalah.

PENGHANCURAN HUTAN


Penebangan hutan tidak sah (tanpa izin resmi)
Pemakaian cara potong dan bakar (slash and burn) untuk mendirikan perkebunan kelapa sawit yang sangat luas
Pemakaian cara potong dan bakar yang dipakai oleh para petani setempat
Program Transmigrasi, program pemerintah untuk memindahkan banyak orang dari Jawa ke wilayah hutan rimba di Kalimantan
Kebakaran yang disebabkan cara potong dan bakar, yang dibuat lebih buruk lagi karena kekeringan yang disebabkan oleh masa kekeringan yang luar biasa
Pemakaian cara potong dan bakar juga menyebabkan lumut dan batu bara yang terdapat di bawah tanah menyala secara spontan dan membuat situasi kebakaran hutan lebih buruk lagi.

PERDAGANGAN BINATANG PELIHARAAN YANG TAK SAH


Penjual-belian bayi orang utan, walaupun dilarang undang-undang, masih tetap terjadi. Setiap tahun ratusan bayi orang utan diambil dari hutan untuk dijual sebagai binatang peliharaan. Ini dilakukan dengan membunuh betina orang utan dan mengambil bayinya. Ditaksir bahwa untuk menangkap seekor orang utang yang bisa dijual, empat-lima orang utan lagi harus dibunuh. Orang utan itu bisa mati karena jatuh beratus-ratus kaki ke lantai hutan ketika ibunya ditembak, karena luka berat akibat melihat ibunya dibunuh dan mungkin dimakan, karena menderita penyakit yang diterimanya dari manusia (orang utan bisa menderita semua penyakit manusia), atau karena meninggal akibat keadaan buruk kandangnya sesudah ditangkap.

Walaupun bayi orang utan mungil sekali, mereka bukan binatang peliharaan yang baik. Semua binatang liar dengan cepat berubah dari binatang kecil yang menyenangkan untuk disayangi dan menjadi binatang dewasa yang kuat dan berbahaya, yang tidak cocok sebagai binatang peliharaan.

Pemburuan
Karana kelaparan dan/atau kemiskinan, orang utan kadang-kadang diburu sebagai sumber makanan, baik karena orang tidak tahu tentang undang-undang yang ada, atau karena mereka sama sekali tidak peduli tentang undang-undang itu. Karena tempat pendiaman manusia makin lama makin melangar batas hutan, maka orang utan tertarik untuk makan buah-buahan dari pohon-pohon di dalam kebun manusia - ini menyebabkan pertentangan antara manusia dan orang utan sehingga orang utan dianggap sebagai hamba. Kalau orang utan dewasa dibunuh maka bayinya bisa dijual, dan tengkorak orang utan dewasa tsb bisa dijual sebagai oleh-oleh (yang tidak sah) di seluruh Kalimantan.

Penanganan yang kurang baik terhadap kontrak izin menebang pohon, cara pertanian yang menggunakan sistim potong dan bakar (slash and burn), dan penebangan hutan secara tak sah, tergabung untuk mengurangi jumlah wilayah hutan rimba. Di satu wilayah di Kalimantan Selatan telah dilaporkan bahwa 80% penebangan hutan yang terjadi merupakan penebangan tak sah. Untuk banyak transmigran (orang yang dipindahkan dari pulau Jawa untuk mengurangi jumlah penduduk di pulau itu) pertanian penting untuk kelangsungan hidup mereka. Tanah yang terdapat di Kalimantan tidak subur dan tidak bisa menghasilkan hasil bumi seperti dihasilkan dengan tanah subur di pulau Jawa. Oleh karena itu, untuk bisa terus hidup, para transmigran mungkin menebang hutan atau menggunakan sistim pertanian dengan cara potong dan bakar, yang tidak bisa ditahan lama tanah itu karena makin pesat pertumbuhan penduduk makin singkat waktunya untuk pembaharuan lagi hutan rimba.

Keadaan-keadaan ini dipersulit lagi karena masa iklim yang luar biasa seperti masa El Nino yang luar biasa panjangnya tahun ini. Kebakaran merajalela melalui Kalimantan Timur, di pulau Borneo, selama lebih dari sembilan bulan. Asap dari kebakaran itu menjadi gangguan kesehatan bagi negara-nergara sejauh Singapura dan Malaysia. Ratusan ribu hektar hutan rimba di Kalimantan dihapuskan yang berati banyak orang utan liar kehilangan tempat tinggalnya dan terpaksa mencari lindungan di pohon-pohon buah di desa-desa dan perkebunan. Orang utan itu tidak diterima baik dan banyak yang dibunuh, diluka parah, atau dimakan oleh orang yang kelaparan karena panen mereka sudah gagal dua tahun lamanya. Sesudah kebakaran itu mulai, sumber-sumber batu bara dan lumut yang banyak terdapat di pulau itu menyala secara spontan dan membuat kebakaran itu lebih buruk lagi.

Selasa, 01 Januari 2008

Orang Utan Menghadapi Kepunahaan


PENYELIDIKAN TERBARU
Para ahli ilmu pengetahuan telah memberi peringatan bahwa kalau pemburuan orang utan dan penghancuran hutan rimba tidak diperhentikan maka orang utan liar akan lenyap dari Sumatra dan Kalimantan dalam jangka waktu sepuluh tahun lagi, dan hanya terdapat dalam kebun-kebun binatang. Tanda bahaya diberikan dalam penyelidikan bersama antara Carel van Schaik dari Universitas Duke di Amerika Sarikat dengan Kathryn Monk dan Yarrow Robertson yang mengepalai sistim-ekologi Leuser di Sumatra Utara. Sejak 1998, jumlah penduduk orang utan di Sumatra berkurang satu juta setiap tahun, terutama karena kehilangan hutan rimba, tempat tinggalnya. Pemburuan makin pemperburuk keadaan itu dan World Wide Fund for Nature (WWF) berkata bahwa mungkin terdapat lebih banyak orang utan per kilometer persegi di Taipei dari pada di hutan liar.

Kebakaran yang dimulai oleh perusahaan kayu dan kelapa sawit sebagai cara yang murah membuka tanah luas merupakan ancaman paling jelas terhadap hutan rimba di Indonesia. Dalam waktu dua puluh tahun belakangan ini lebih dari 80 persen hutan tsb diperas dan proses itu telah dipercepat lagi, kata WWF. Menurut kelompok-kelompok penjaga lingkungan, pemerintah Indonesia yang mengaku kesadaran keadaan dahsyat itu tampaknya tidak berkemampuan melakukan apa-apa untuk mengatasi situasi itu karena dihadapi keterlibatan lokal dalam penghapusan hutan itu. Penebangan tak sah menghasilkan keuntungan yang besar dengan penanaman modal yang minimal dan telah menghancurkan taman asli dan wilayah yang dilindungi di beberapa tempat. Bahkan para ahli ilmu pengetahuan yang mempelajari sistim-ekologi telah menerima ancaman pribadi.

Jumlah penduduk orang utan telah berkurang dari kira-kira 12.000 pada tahun 1963 sampai 6.500 pada tahun 2000 di sistim-ekologi Leuser di Sumatra menurut penyelidikan AFP. Kira-kira sejuta orang utan telah hilang pada kedua tahun lalu masing-masing. “Kalau ini diteruskan, kehilangan di masa depan yang dekat diperkirakan akan mengancam kelangsungan hidup orang utan di Leuser” kata ahli ilmu pengetahuan. “Keadaan di Kalimantan tidak lebih baik,” katanya, mengenai satu-satunya tempat lain di mana orang utan terdapat liar. Sepertiga dari jumlah penduduk orang utan mati karena kebakaran hutan yang luas pada tahun 1997-98, dan penebangan hutan tak sah dan pemburuan terus mengurangi jumlahnya lagi. “Kalau pembanguan di sana tidak bisa diperhentikan dengan cepat, dalam jangka waktu sepuluh tahun di dunia ini tidak akan terdapat penduduk orang utan yang dapat hidup terus. “Kalau taksiran kami salah, kesalahannya berhubungan dengan jangka waktu saja, bukan dengan arahnya.”

Dua organisasi yang telah menyelidiki masalah ini – Environmental Investigation Agency dan Telepak – telah mendorong pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan dengan segera untuk memperhentikan penebangan hutan, khususnya di sistim-ekologi Leuser dan di Tanjung Puting di Kalimantan. “Masyarakat internasional, termasuk Amerika Serikat, Perserikatan Eropa, Jepang, dan IMF dan World Bank seharusnya mendukung tindakan begitu,” katanya. Ini akan menuntut keberanian dan ketetapan hati karena mereka yang mengadakan penebangan tak sah sangat berpengaruh keuangan dan politik.

Taman Asuhan



Taman Asuhan
Sebaik sahaja selesai menjalani pering-kat kuarantina, orangutan akan dinilai sama ada dibebaskan di kawasan taman asuhan bagi orangutan di bawah umur 3 tahun atau dibebaskan terus di pelantar A ataupun B. Bagi orangutan yang di­bebaskan di taman asuhan, orangutan ini akan dilatih dengan bantuan dari kakitangan pusat ini supaya dapat me-manjat sendiri. Mereka akan dilepaskan pada setiap pagi dan dengan ini diharap-kan agar mereka dapat mula membina kemahiran hidup di dalam hutan.

APAKAH DIA PROSES PEMULIHAN?



Proses pemulihan orang utan bermula apabila sahaja pusat ini menerima orangutan sama ada dirampas atau di-serahkan secara sukareia oleh pemilik-pemi!ik haram dari ladang pertanian atau kem pembalakan. Kebanyakan orang utan yang diterima oleh pusat ini terdiri dari anak-anak orang utan yang kehilangan ibunya dan masih memerlukan perlindungan dan sokongan penuh dari ibunya untuk terus hidup. Tapi kini menjadi tanggungjawab kakitangan pusat ini pula untuk memastikan anak-anak orang utan ini terus hidup dan dapat kembali semula ke dalam hutan.

Ancaman kepunahan tidak saja terhadap satwa langka



"Ancaman kepunahan tidak saja terhadap satwa langka yang ada di satu-satunya taman nasional hutan tropis di Sumatera itu, tetapi juga terhadap kelestarian hutan TNBT,"
Kini hutan panyangga TNBT, paparnya, sudah mulai musnah karena kayunya habis dibabat guna memenuhi kebutuhan bahan baku kayu berbagai perusahaan perkayuan di sekitar TNBT itu, bahkan guna memenuhui kebutuhan kayu perusahaan yang jauh dari TNBT di wilayah Riau maupun Jambi.
"Karena itu, kita dari WWF sangat khawatir, apakah keberadaan Taman Nasional Bukit Tigapuluh masih bisa bertahan sampai lima atau sepuluh tahun lagi, sebagai salah satu tempat hidup dan berkembang biaknya berbagai jenis flora dan fauna yang sudah hampir punah itu,"
Menurut catatan WWF Bukit Tigapuluh, di sekitar TNBT tersebut terdapat sekitar 33 unit usaha penggergajian kayu, belum lagi usaha perkebunan yang membabat hutan untuk dijadikan areal usaha mereka.
Sementara itu dari Samarinda dilaporkan, populasi orangutan (pongo pygmaues) terus terancam. Perdagangan binatang langka ini, menurut masyarakat setempat, terus berlangsung, di samping sebagian lagi kerap meninggalkan habitatnya.
Harga orangutan di Kaltim dari tangan pertama berkisar Rp 500.000 sampai satu juta rupiah. Harga itu meningkat tiga sampai empat kali apabila sudah sampai ke pihak yang sengaja memperdagangkan. Apabila orangutan tersebut diselundupan ke luar negeri maka harganya mencapai puluhan juta rupiah, seperti terungkapnya kasus perdagangan tujuh ekor orangutan dari Kaltim di Osaka, Jepang. Harga orangutan di Jepang mencapai 3.500 dollar AS/ekor atau sekitar Rp 26.500.000. *

Terancam Punah



Terancam Punah, Sejumlah Jenis Satwa LangkaJakarta, Antara
Berbagai jenis satwa dan fauna langka yang ada di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) Riau, kini semakin terancam punah akibat terus diburu oleh orang-orang yang mencari keuntungan. Hal serupa juga terjadi pada orangutan di daerah Kalimantan Timur. Staf WWF TNBT Purwo Susanto di Pekanbaru, Senin (7/2), mengatakan, setiap saat pemburuan binatang langka di taman nasional itu terus terjadi, karena memang harga binatang-binatang tersebut sangat menggiurkan. Misalnya harimau sumatera di pasar gelap mencapai Rp 25 juta per ekor. Demikian juga dengan jenis lainnya, seperti burung beo, murai batu dan banyak lagi jenis satwa langka yang terus diburu untuk mendapatkan uang.

REPATRIASI ORANGUTAN DARI THAILAND KE INDONESIAP





REPATRIASI ORANGUTAN DARI THAILAND KE INDONESIA Repatriasi merupakan salah bentuk upaya perlindungan terhadap satwa-satwa yang merupakan hasil perdagangan internasional illegal. Repatriasi orangutan ini juga merupakan aktualisasi dan momentum awal yang tepat sebagai salah satu usaha kepedulian Negara dan Bangsa Indonesia terhadap upaya konservasi satwa langka, yang sekaligus dapat dipakai sebagai wahana penyampai pesan kepada masyarakat luas baik dalam maupun luar negeri, agar makin meningkatkan kerjasama dalam mendukung upaya pelestarian satwa khususnya orangutan. Mengingat masih banyak orangutan-orangutan Indonesia yang illegal terdapat di Negara-negara lain.